PALAKAT.id – Sore itu, kaki gunung Lolombulan, sebuah rumah yang menjadi Sekretariat organisasi penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung (Laroma), Desa Tondei Satu, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Frits Sual (47) seorang Walian (pendeta atau imam sekaligus tabib) dalam kepercayaan Malesung bersama sejumlah anggota penghayat kepercayaan Malesung, sedang menyiapkan berbagai perlengkapan baik itu pusaka dan sesajian untuk menjalankan ritual Maso Sico’o, yakni upacara permohonan perlindungan dan berkat kepada Apo Kasuruang Wangko (Tuhan Maha Esa). Upacara ini biasa dilakukan setiap bulan tepat di saat bulan purnama berlangsung.
Awalnya, para penghayat kepercayaan Malesung ini melakukan segala aktivitas dan ritual peribadatan mereka di Wale Paliusan (rumah tempat berkumpul), namun sejak peristiwa perusakan tempat tersebut mereka terpaksa pindah dan melakukan semua di Sekretariat Laroma.
Keutamaan dalam ritual ini, kebersamaan antara sesama penghayat kepercayaan Malesung yang dimulai dengan menata sesajian (umper) sebagai penghormatan kepada leluhur (se apo-apo) dan wujud penyembahan kepada Yang Maha Kuasa yang diikuti dengan rumengkom atau makan bersama. Di mana akan terlihat ajaran leluhur untuk saling memberi dan melayani (membetengan) dan saat roh-roh suci leluhur hadir akan ada petuah-petuah, pesan petunjuk yang disebut sisinda’u atau sisino’an yakni petunjuk tentang bagaimana bersikap dan bertingkah laku, dan juga pengobatan terhadap suatu penyakit. Kemudian di akhir ritual akan ada pelayanan pengobatan kepada orang-orang yang hadir yang sedang sakit. Setelah itu makan bersama (rumengkom) kedua yang dibarengi dengan diskusi, berbagi pengalaman, terutama dalam kaitan penghayatan.
Dalam rumengkom yang kedua ini, orang-orang yang mendampingi walian akan membahas apa yang disampaikan pesan-pesan leluhur, biasanya perlu didiskusikan untuk menghindari kesalahan dalam memahami apa yang disampaikan leluhur. Karena dalam menyampaikan petunjuk, leluhur ini menggunakan Bahasa Tountemboan (Bahasa daerah Minahasa) dan biasanya istilah yang dipakai adalah istilah tua, sehingga perlu ada pembahasan tentang maksud-maksud tersebut.
Dalam ritual yang berlangsung khusuk dan hikmat ini sekitar 30 orang penghayat kepercayaan Malesung yang hadir tidak hanya dari Desa Tondei saja bahkan dari desa lainnya yang ada di sekitar desa tersebut yang ada di Kabupaten Minahasa Selatan. Ada pula penghayat yang hadir dalam ritual Maso’ Sico’o yang baru pertama kali datang.
Seperti yang diutarakan sepasang suami istri, Boyke Sual (57) dan Miske Lendo (58) yang hadir dalam upacara Maso Sico’o, selain mengikuti upacara mereka juga mendapatkan pelayanan pengobatan makatana’ (pemilik bumi, Tuhan Yang Maha Esa) melalui seorang walian di desa tersebut.
Di sela-sela pengobatan, percakapan yang terjadi terungkap soal praktik-praktik kepercayaan Malesung yang ditunjukkan kepada mereka oleh para pendahulu, baik itu di desa Tondei maupun di Picuan di mana mereka berasal.
Secara runut mereka menguraikan bahwa para pendahulu itu sangat menghargai dan menghormati leluhur mereka dan senantiasa meminta izin kepada Yang Maha Kuasa di setiap akan melaksanakan sesuatu.
“Baik itu di saat akan bekerja, mendirikan rumah, gubuk, mendapatkan hasil buruan, membuka lahan, dan hal lainnya,” tutur Miske dengan aksen Minahasa daerah Selatan yang begitu kental.
“Sejak saya masih kecil, saya seringkali diajak ibu saya untuk mengikuti berbagai kegiatanyang berkaitan dengan menghormati para leluhur terdahulu,” Boyke menimpali.
Keesokan harinya, saat tubuhnya masih terlihat lelah setelah menjadi perantara dirinya dengan se apo-apo, Fritz Sual menceritakan kisah tentang perjalanan spiritualnya dalam mengemban tugas sebagai walian. Ketika dirinya masih kecil, sering mengikuti neneknya saat sedang menjalankan ritual di ujung kampung. Berlanjut hingga kepada ayahnya saat melaksanakan ritual di perkebunan Lineang sekira tahun 1983. Setelah ayahnya meninggal di awal tahun 1998, melalui petunjuk se apo-apo dirinya ditunjuk sebagai walian meneruskan ajaran yang ditinggalkan nenek dan ayahnya.
Di awal menjadi seorang walian, dirinya merasa tidak tahu apa-apa, hingga hikmat itu datang dengan sendirinya. Untuk melanjutkan kiprahnya, Fritz melanjutkan ritual-ritual ini di perkebunan Lineang yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari pemukiman. Menurut sang walian, upacara maupun ritual dilaksanakan jauh dari pemukiman ini agar tidak ada gangguan.
“Saya mulai mempersiapkan semua keperluan yang dibutuhkan, apapun orang tua yang ajarkan kepada saya yaitu harus memegang teguh dan berpedoman kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena Cuma satu yang memberikan nafas kehidupan serta menolong manusia.
Begitupun saat akan menolong orang yang sedang memerlukan bantuan pengobatan, dirinya selalu siap untuk memberikan pertolongan. Setiap bulan besar (purnama), selalu melakukan ritual bukan berarti memanggil hal yand tidak baik, melainkan memohon kepada Apo Kasuruang Wangko.
Menurut pengakuan sang walian, berdasarkan penuturan orang tuanya, secara tersirat, dia telah dipilih oleh se apo-apo untuk menjadi walian sejak dirinya berusia 12 tahun, karena para leluhur memilih sesuai dengan latar belakang keturunan dan sejak kecil dirinya sudah memutuskan untuk menjadi penghayat kepercayaan Malesung.
Selain itu, orang tuanya selalu mengingatkan untuk menunjukkan sikap toleransi antar sesama umat manusia. Setelah masuknya agama dari luar kepercayaan yang dihayatinya, tidak pernah diajarkan untuk melarang pilihan kepercayaan seseorang.
“Siapapun yang ingin pergi ke rumah ibadah lainnya dipersilakan, jangan menjadi orang yang fanatik buta, kita sama-sama manusia, saling tolong menolong. Dalam kepercayaan kami, Tuhan itu hanya satu. Apo Nimema’ In Tana’ wo Langit (Tuhan Yang Menciptakan Langit dan Bumi). Semua yang hidup di dunia punya hak yang sama. Jadi kita bisa mengusir atau membenci orang yang tidak sama dengan ajaran kita,” terang sang Walian.
Identitas Penghayat Kepercayaan Malesung
Dalam menjalankan ajaran-ajaran leluhur para penghayat kepercayaan Malesung ini masih merasa takut, tidak nyaman dan bersembunyi di balik identitas keagamaan lainnya. Di mana identitas mereka di kolom agama KTP mereka belum tertera sebagai penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, melainkan salah satu dari enam agama yang diakui di Indonesia. Padahal negara telah menjamin hak kebebasan beragama yang tercantum dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang berbunyi:
Ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa”. Ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.”
Frits Sual mengungkapkan, selama ini identitas agama di KTP-nya merupakan agama Kristen, karena tidak pernah mengetahui jika status penghayat kepercayaan Malesung sudah bisa dicantumkan dalam KTP. Kaluapun sudah diakui oleh negara tenta saja dirinya akan segera mengganti status kepercayaannya.
“Karena biar bagaimanapun kami juga menghormati pemerintah, jika pemerintah mengharuskan menggunakan KTP tentunya kami akan membuatnya,” kata Om Pit, sapaannya sehari-hari di desa.
Lain halnya yang diungkapkan Doan Wurangian (38), seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan, dirinya secara terbuka mengungkapkan identitas dirinya sebagai penghayat kepercayaan Malesung dan tidak ada paksaan dari siapapun untuk menjalankan ajaran-ajaran leluhur.
“Buat apa kita diam-diam untuk mengekspresikan keyakinan dan kepercayaan kita kepada Apo Kasuruang Wangko. Karena semua kembali kepada pribadi masing-masing. Sama halnya keselamatan manusia itu semua datang dari manusia tersebut,” ungkapnya.
Sampai saat ini, dirinya merasa tidak ada ganjalan mempertahankan keyakinannya dalam kepercayaan Malesung. Karena dalam sistem kepegawaian Dapodik saja, selain enam agama yang diakui di Indonesia, sudah ada pilihan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Namun dirinya mengakui, untuk saat ini dirinya belum mengganti status agama yang ada di KTP dengan sistem kepercayaan yang dianut. Karena selain karena kesibukan, birokrasi untuk mengurus penggantian status kepercayaan di daerahnya masih berbelit-berbelit dan para petugas belum sadar dan memahami secara jelas bahwa para penghayat kepercayaan Malesung ini sudah difasilitasi negara.
Lalang Rondor Malesung
Lalang Rondor berarti jalan lurus atau jalan kebenaran. Malesung adalah sebutan lama untuk Minahasa. Sehingga Lalang Rondor Malesung (Laroma) bermakna jalan/kebiasaan atau tuntunan kebenaran yang bersumber dari dari Tuhan Yang Maha Esa yang diwariskan kepada orang Minahasa secara turun temurun oleh para leluhur sejak zaman Malesung.
Organisasi penghayat kepercayaan Laroma dicetuskan pada tahun 2015 dan berdiri secara resmi sebagai organisasi di tahun 2016. Ketua Umum Laroma, Iswan Sual menceritakan asal usul berdirinya organisasi ini, dahulu sebelum ada Laroma, para penghayat kepercayaan Malesung melakasanakan ritual peribadatan jauh dari pemukiman, sesekali memang dibuat di rumah, namun sejak tahun 2015 dirinya mengikuti ritual peribadatan tidak pernah dilakukan di rumah atau di daerah pemukiman.
Tapi kemudian ada pemikiran untuk membuat para penghayat ini percaya diri dan tidak merasa takut perlu dibuat sebuah lembaga atau organisasi yang bertujuan; yang pertama untuk mengadvokasi, kemudian memberikan penguatan kapasitas, sehingga mereka sadar tentang hak-hak sipil, hak-hak mereka seabagai warga negara yang terkait dengan keyakinan dan kepercayaan.
“Pada waktu itu, sebelum ada organisasi ini, semua penghayat kepercayaan Malesung menganggap mereka tidak diakui oleh negara, artinya tidak diberikan ruang oleh negara untuk mengekspresikan keyakinan mereka. Padahal sebenarnya di tahun-tahun tersebut sudah ada jaminan secara hukum, misalnya sudah bisa menikah secara keyakinan kepercayaan, sudah bisa melaksanakan ritus-ritus, karena sudah ada aturan-aturan yang mendukung. Apalagi di tahun 2016 tersebut sudah ada keputusan dari mahkamah konstitusi,” jelas Iswan.
Tapi memang sosialisasi mengenai hal tersebut tidak cepat tersebar ke seluruh pelosok Indonesia. Perlu ada satu lembaga yang memberikan pemahaman yang bias menjelaskan terkait aturan-autran hukum mana yang memberikan jaminan bagi para penghayat untuk melakukan aktivitas, ritus atau upacara kepercayaan.
Organisasi ini juga memberikan penguatan kapasitas dalam hal yang tadinya mereka tidak tahu berorganisasi, diberikan pembekalan-pembekalan soal manajemen, apa pentingnya berhimpun dalam suatu organisasi.
Organisasi ini juga menjadi juru bicara penghayat kepercayaan Malesung ketika harus berhubungan dengan pihak-pihak luar. Karena memang tingkat pendidikan para penghayat Malesung yang ada di sini tidak sama semua. Rata-rata yang menghayati ajaran-ajaran leluhur itu, lebih banyak berprofesi sebagai petani. Kemudian tingkat pendidikan juga tidak terekspos ke tingkat pendidikan yang tinggi. Sehingga pergaulan dengan penghayat-penghayat lain di daerah luar juga tidak terjalin. Sehingga Laroma punya fungsi untuk menghubungkan dengan penghayat-penghayat yang ada di luar Malesung.
Dengan terhubungnya penghayat Malesung dengan penghayat yang ada di daerah lain, mereka tidak merasa mereka sendirian. Mereka ternyata banyak juga yang sama di daerah lain, sehingga rasa percaya diri untuk mengaku dan menerapkan ajaran penghayat ini meningkat dan terus eksis. Inilah maksud pendirian laroma.
Dalam data organisasi Laroma yang memang layak untuk dicatat dalam artian yang sering mengikuti upacara dan ritus itu ada sejumlah 103 orang penghayat kepercayaan Malesung. Untuk yang lain tidak dicatat karena ada yang datang hanya untuk keperluan pengobatan tidak dalam hal untuk menghayati ajaran-ajaran atau keyakinan leluhur.
Untuk advokasi bagi para penghayat kepercayaan Malesung, organisasi Laroma bertugas saat ada anggota penghayat kepercayaan Malesung yang ingin mengganti identitas di KTP yang ada hubungan dengan keyakinan dalam hal ini di kolom agama. Laroma itu terlibat dalam hal menyediakan formulir yang sebenarnya sudah disediakan oleh Kementerian Dalam Negeri.
“Karena ada juga yang tidak percaya diri untuk mengurus sendiri, sehingga harus diberikan fasilitas dan kemudahan seperti itu. Kemudian pendampingan ketika mereka akan mengurus administrasi misalnya ke kantor desa bahka sampai ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Karena kadang-kadang pada saat mereka datang mengurus ada petugas-petgas di kantor yang juga tidak paham tentang hak-hak penghayat, sehingga terkesan tidak mau diurus atau berbelit-belit,” terang Iswan.
Dengan adanya pendampingan Laroma itu, relatif lebih mudah. Selain itu, dalam hal pernikahan dan pendidikan, misalnya ada anggota yang akan menikah secara ajaran penghayat itu difasilitasi oleh organisasi Laroma. Untuk bidang pendidikan, Laroma akan bekerja sama dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) dan akan berkoordinasi dengan sekolah-sekolah di mana ada siswa penghayat kepercayaan.
“Misalnya di sekolah yang tidak mengenal ajaran penghayat kepercayaan itu tidak bisa menerima yang penghayat karena mereka berpikir hal ini tidak pernah ada. Dengan adanya penjelasan dari Laroma itu bias dimudahkan atau dilancarkan,” ujar Iswan.
Untuk saat ini, ada kurang lebih lima orang siswa anggota penghayat kepercayaan Malesung yang sedang bersekolah maupun menempuh pendidikan, tapi secara administrasi belum tertera sebagai penghayat kepercayaan Malesung. Jadi mereka masih diperlakukan sebagai penganut agama yang salah satu dari enam agama. Apalagi bagi siswa yang dalam tahap ujian akhir di mana untuk mengganti identitas sangat sulit untuk dilakukan, jadi mereka lebih memilih bertahan dengan identitas tersebut. Mungkin akan dilakukan perubahan saat mereka selesai dengan ujian akhir.
Bahkan, berkat upaya serius dari tiga warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME) dari Desa Tondei Satu, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Provinsi Sulawesi Utara untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) kini berbuah manis setelah diterbitkan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Minahasa Selatan. Dan masih ada 15 orang lainnya yang sedang mengurus pergantian KTP penghayat.
Menurut Iswan Sual, proses pergantiannya agak sedikit lambat bila dibandingkan dengan pelayanan di kabupaten lain seperti Kabupaten Minahasa, Minahasa Utara, Sangihe, dan Talaud yang juga memiliki warga penghayat kepercayaan.
“Meski awalnya mengalami hambatan namun akhirnya 3 warga Laroma dapat memiliki KTP penghayat kepercayaan. Mereka adalah L.S (74 tahun), S.T (59 tahun) dan I.S (35 tahun). Sempat agak lambat karena mungkin ada penyesuaian-penyesuaian pemahaman antara petugas desa, kecamatan dan Disduksapil. Tapi, sekarang sudah bisa. KK dan KTP-nya sudah ada di tangan mereka,” kata Iswan Sual sebagai ketua umum Laroma.
Ditambahkannya, warga Laroma merasa perlu berterima kasih kepada Bupati Mianahasa Selatan lewat Disdukcapil Minsel, karena turut membantu dalam proses pemenuhan hak sipil warga penghayat kepercayaan yang tergabung di Laroma.
Dan ini memperlihatkan komitmen serius dari bupati dan wakil bupati dalam menjaga citra Minsel yang toleran dengan perbedaan keyakinan.
“Pak Bupati paham betul soal hak-hak warga sipil, khususnya warga penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Saya tahu beliau nasionalis tulen. Karena saya dengar langsung dalam pidato sambutan beliau ketika membuka acara sosialisasi terkait legalitas Laroma dari Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek beberapa waktu lalu,” terangnya.
Penulis: Ridwan Nurhamidin