Palakat.id – Antara tahun 70-an sampai 80-an, Prof. W. J. Waworoentoe membuat perencanaan konsep Kampus Desa. Berdasarkan pertimbangan atas kunjungan kerjanya terhadap desa-desa di lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswa Universitas Sam Ratulangi , ada tiga prinsip dasar Kampus desa: 1) interaksi langsung antara universitas dan masyarakat atau asal mahasiswanya, 2) refleksi sifat agraris pertanian yang direfleksikan dalam satuan desa itu, 3) suatu program riset yang langsung diselenggarakan di wilayah yang relevan. Antara masyarakat desa dan kampus, keduanya memiliki manfaat secara timbal balik. Desa dikembangkan berdasarkan pendampingan dan riset dari universitas, sebaliknya, universitas mendapat manfaat dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Konsep Kampus Desa ini bisa dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi, nilai, (aksiologi) ilmu pengetahuan yang mengabdi kepada masyarakat sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi: Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Prof. Waworoentoe mendeskripsikan tugas universitas adalah melakukan riset dan survei kondisi geografi ekonomi dalam upaya pengembangan masyarakat desa, terlibat dalam perencanaan dan perancangan pembangunan desa. Geografi ekonomi desa mengenai potensi-potensi sumber daya sebagai agro-ekonomi (bisnis). Selain itu untuk upaya pengembangan perlu juga melihat agro-teknologi sebagai penunjang kegiatan agraris masyarakat desa. Dalam buku Indonesia Di Pasifik, Dr. G. S. S. J. Ratulangi mendeskripsikan kondisi masyarakat Indonesia sebagai masyarakat agraris yang masih menggunakan alat-alat produksi tradisional sementara Jepang di masa itu sudah menjadi negara industri. Jepang sudah melakukan modernisasi/industrialisasi sejak abad ke-19 melalui Restorasi Meiji .
Dalam sejarah pendidikan modern di Minahasa sejak abad 19, antusias anak-anak untuk ikut dalam program sekolah awalnya sangat kurang . Mereka menganggap apa yang mereka pelajari di sekolah tidak berguna untuk kehidupan mereka sehari-hari . Masih lebih baik mereka pergi ke kebun menyadap nira atau belajar keterampilan bertani dan peternakan yang memberi keuntungan nyata bagi mereka. Itu yang mendorong para misionaris yang memprakarsai pendidikan modern untuk mengubah kurikulum pendidikan. Awalnya pendidikan yang dibawa oleh para misionaris sekadar untuk membaca agar mereka dapat mempelajari alkitab. Tetapi lama-kelamaan pendidikan modern di Minahasa lebih dikembangkan agar tidak saja memproduksi penginjil lokal (hulp-zendeling) tapi bisa juga mengisi kerja-kerja administratif pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian akhirnya tersedia sekolah-sekolah yang mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih luas dan memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat seperi ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu pertambangan, dll. Dari situlah Minahasa menghasilkan tokoh-tokoh intelektual dengan standard pandidikan Eropa pada waktu itu. Di masa pendudukan Jepang, para pelajar dikontektualisasikan dalam situasi perang. Para pelajar, selain wajib militer, mereka juga didekatkan dengan kenyataan sosial membantu masyarakat untuk menyediakan kebutuhan perang. Tetapi pasca kemerdekaan, tampaknya ‘kemandirian pendidikan’ kita mengalami degradasi dan kembali terpisah dengan kehidupan nyata. Pendidikan kita kurang berkontribusi mengejar keterlambatan pembangunan. Malahan, banyak terjadi distorsi di mana kaum intelektual menjadi agen-agen penipu masyarakat dalam melakukan korupsi. Institusi pendidikan dilihat sebagai lembaga sarang pembodohan sistemik yang dilakukan oleh negara. Generasi muda terpisah dari basis kehidupannya, berbekal pendidikan yang kurang bahkan tidak berkualitas. Pendidikan mengarahkan generasi muda bukan untuk mengembangkan desa atau potensi manusia dan alam daerahnya tetapi sekedar menjadi babu sistem perusahan multinasional. Pendidikan kita tidak mengajarkan bagaimana bertindak memanfaatkan potensi-potensi kita sendiri.
Pada tahun 1995, Prof. H. A. R. Tilaar menulis buku tentang evaluasi pendidikan nasional . Buku itu dimulai dengan sejarah pendidikan nasional yang bertumpuh pada gerakan swasta. Pendidikan yang dikhususkan bagi pribumi untuk membangun kesadaran sosial sebagai pendidikan alternatif. 50 tahun Indonesia merdeka dari 1945 sampai 1995 yang terjadi justru adalah kemerosotan pendidikan. Politik pendidikan nasional tidak berjalan baik karena digerogoti oleh korupsi. Upaya-upaya modernisasi untuk menopang perkembangan industri justru gagal walaupun berganti-gantinya kurikulum. Dana pinjaman luar negeri untuk meningkatkan kualitas pendidikan habis dikorupsi oleh para pejabat negara. Kita bisa melihat di sini bahwa di antara tahun 70-an dan 80-an pun Prof. Waworoentoe telah mencanangkan konsep pendidikan yang berbasis kebutuhan, terutama desa. Tapi apakah itu berhasil dan memiliki dampak signifikan? Saya tidak bisa menjabarkannya dengan pasti karena belum memiliki data sejarah soal kelanjutan Kampus Desa itu – tahun 2018, dr. Bert Supit dalam buku Epilog Otobiografinya justru menggambarkan kondisi Unsrat yang telah tercabut dari konsep-konsep Sam Ratulangi – Tetapi dalam gambaran umum pendidikan nasional, pasca Reformasi 1998, Prof. Tilaar menulis dua buku penting yang menggambarkan kemerosotan pendidikan Indonesia dan menawarkan arah baru pendidikan nasional . Indonesia di bawah politik Orde Baru telah kehilangan daya kritis sehingga tak mampu melakukan transformasi sosial. Pendidikan tidak mampu membawa dampak perubahan dengan menghasilkan individu-individu yang kreatif dan inovatif. Belum lagi krisis teladan karena kesenjangan antara apa yang diajarkan (moral) dalam institusi pendidikan tidak sesuai dengan kenyataan praktis. Pendidkan Nasional juga diserang oleh diploma disease di mana pelajar lebih mementingkan memiliki sertifikat ijazah daripada penguasaan ilmu pengetahuan. Mereka suka mendandani nama-nama mereka dengan gelar sarjana sekalipin tak dapat mempertanggungjawabkan nilai-nilai itu.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sebenarnya dapat menunjang pengejahwantahan konsep Kampus Desa yang diusung oleh Prof. Waworoentoe. Undang-undang ini menyediakan dana khusus milyaran rupiah untuk membangun desa. Tidak hanya soal ekonomi, dengan dibentuknya Kementerian Desa (Kemendes) dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) adalah upaya untuk melakukan demokratisasi desa tetapi juga memberdayakan, menggali, melestarikan, dan mengembangkan segala macam potensi yang ada di desa. Untuk mempercepat (akselerasi) pembangunan desa maka telah dibuat berbagai aturan turunan yang melibatkan berbagai pihak terkait untuk menunjang. Ada pendamping desa yang secara struktural dari provinsi, kabupaten, kecamatan, dan di satu desa khusus. Ada juga terbuka kemungkinan pendamping desa sebagai tenaga ahli yang dibutuhkan oleh desa secara situasional berdasarkan kebutuhan. Misalnya, dosen ahli dalam perencanaan pembangunan fisik dapat diundang untuk mendampingi warga desa. Pihak desa dapat mengajukan kerjasama ke pihak universitas untuk memberikan pendampingan. Termasuk juga dapat mengundang pihak universitas untuk melakukan penelitian bukan hanya soal masalah agro-ekonomi tetapi lebih dari itu juga masalah pendidikan, hukum, sosial, budaya, dan lingkungan alam. Hal ini juga untuk mengganti posisi dinas-dinas yang ada tapi seakan tak berguna; seperti dinas pertanian, peternakan, social, dll. Kehadiran universitas di desa tidak hanya sebatas adanya mahasiswa KKN yang kadang banyak juga yang tak berkualitas dan memberikan sumbangsih bagi desa. Universitas diharapkan menjadi pendamping setia masyarakat desa sebagai sumber obat penyakit sosial dan berbagai kegiatan riset untuk pemecahan masalah dan memberi solusi.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2019 terbentuklah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) , sekalipun kita juga punya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tetapi itu mungkin belum cukup seperti halnya kita punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sejak era kolonial lembaga riset ilmu pengetahuan sudah ada untuk menunjang kepentingan pemerintah Hindia Belanda. Tidak heran sejak masa itu mereka sudah mendata flora dan fauna kita, sejarah budaya kita, kandungan mineral di bawah tanah, dan segala sesuatu tentang kita. Orang Eropa telah diilhami oleh perkataan Francis Bacon (1561 – 1626) bahwa pengetahuan adalah kekuatan . Siapa yang menguasai pengetahuan, informasi, data, maka dia bisa berkuasa. Hadirnya BRIN sebagai lembaga untuk melakukan riset dan inovasi berangkat dari kesadaran bahwa negara-negara ekonomi liberal maju karena hal ini. Tetapi nampaknya BRIN berfokus pada riset dan inovasi teknologi strategis. Padahal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang perlu difasilitasi adalah kegiatan kewirausahaan. Sejarah majunya negara-negara seperti Cina, Korea Selatan, Israel, adalah dengan mendorong kegiatan wirausaha (startup) . Di samping itu perlu juga menguatkan ekonomi di tingkat masyarakat bawah. Itulah, menurut saya, perlu ada lembaga semacam Badan Riset dan Inovasi Desa (BRINDes). Ini adalah gerakan riset dan inovasi alternative untuk pemajuan desa dengan melibatkan perguruan tinggi, universitas, ataupun lembaga dan ilmuan independen.
Dengan adanya BRINDes ataupun Kampus Desa maka yang perlu dilakukan adalah riset dan inovasi yang lebih kontributif untuk desa setempat. Kalau ada kerjasama dengan pihak universitas maka dalam perencanaan pembangunan fisik, dosen dan mahasiswa teknik dapat membantu teknis penyusunan rancangan bangunan dan juga rancangan biaya. Jika warga desa diberi pengetahuan soal ini maka akan sangat minim terjadi korupsi dalam pembangunan infrastruktur desa. Atau dosen dan mahasiswa dari fakultas ekonomi dapat berkontribusi mendidik warga desa dalam penyusunan anggaran pembangunan desa, cara menyusun laporan keuangan, dan audit laporan keuangan. Dari fakultas ilmu budaya dapat membantu pengembangan pariwisata desa. Begitu juga dengan dosen dan mahasiswa dari fakultas hukum, pertanian, peternakan, kedokteran, dll.
Kita tahu bersama bahwa kondisi pertanian kita sementara sekarat karena ketidakpastian harga dan pasar. Di satu sisi pemerintah membuat anggaran pembukaan jalur-jalur transportasi seperti jalan perkebunan untuk meningkatkan produksi. Tetapi harga-harga komoditas unggulan anjlok dipermainkan oleh tengkulak atau standard produksinya tidak memenuhi syarat atau tidak mampu bersaing dengan perusahan besar. Ini menuntut adanya kemampuan penguasaan pasar (agrobisnis) untuk melihat peluang baru atau berinovasi membuat varian produk baru. Pertanian di Minahasa cenderung melakukan pemerkosaan terhadap tanah. Padahal dulu secara tradisional teknik pertanian orang Minahasa yang berpindah-pindah dengan maksud mengembalikan kegemburan tanah. Mereka menanam padi atau jagung, setelah panen mereka membiarkan wilayah itu ditumbuhi rumput pepohonan. Setelah beberapa lama mereka kembali lagi menggarapnya. Tetapi sekarang ini kita menyaksikan pemandangan pertanian monokultur, atau setidaknya hanya ada pohon kelapa, cengkih, dan pohon buah-buahan lain. Kegiatan pertanian ini membunuh jutaan spesies tumbuhan lain yang mungkin sangat berguna untuk manusia.
Bertambahnya populasi penduduk desa juga ikut memperluas kegiatan pertanian lebih luas dengan membabat hutan. Bukan hanya tumbuhan yang terancam, habitat hewan pun mulai mengecil ditambah kegiatan perburuan yang membuat hewan-hewan tertentu punah. Bukan hanya itu laju penebangan pohon dan kegiatan illegal logging berpengaruh pada volume air bersih. Tanpa disadari setiap 5 tahun ada mata air yang mati di desa tapi tidak ada yang merasa bertanggung jawab. Padahal sudah ada contoh-contoh desa yang mengalami krisis air bersih. Sejarah wilayah-wilayah yang subur, seperti di Timur Tengah, kemudian menjadi gersang padang pasir karena matinya humus tanah. Itu karena kegiatan pertanian yang memperkosa tanah lewat teknik pengairan yang tidak disadari mengandung zat yang membunuh humus tanah. Wilayah Indonesia yang subur mungkin suatu saat hanya akan menjadi pemandangan padang pasir karena kegiatan pertanian yang menggunakan pupuk kimia, pestisida; baik kegiatan dalam skala besar yang dilakukan oleh perusahan maupun kegiatan pertanian masyarakat desa. Ini bisa disebut sebagai bunuh diri lingkungan (eco-suicidal). Tapi tidak ada gerakan riset yang tanggap dan cepat untuk mencegah menanggulangi masalah-masalah ini.
Gerakan riset dan inovasi alternatif ini mungkin bisa menutupi kekurangan para pendamping desa yang digaji tapi seakan tidak berguna. Gerakan ini juga mungkin bisa mencegah korupsi sistemik yang melibatkan oknum dinas-dinas terkait dan elite-elite politik yang sedang berkuasa. Di era Revolusi Industri 4.0, negara-negara lain sudah banyak menggunakan Hi-Tech seperti mesin cetak rumah; rumah dapat dibangun utuh hanya dengan beberapa jam saja oleh mesin cetak. Tidak perlu tukang manual. Artificial Intelligence (AI) sudah banyak menggantikan posisi-posisi manusia. Sementara di negara, khususnya desa-desa kita bahkan banyak perangkat desa yang buta administrasi manual. Mereka masih gagap tertatih-tatih untuk menyesuaikan dengan tuntutan digitalisasi data. Banyak warga desa yang menjadi korban ketidakadilan karena tuna-hukum karena pelatihan paralegal yang tidak serius. Masih banyak warga yang menjadi korban permainan birokrasi karena pungutan liar (pungli) dan pembodohan yang dilakukan oleh pegawai-pegawai kantoran bertitel sarjana tapi tidak jujur. Mereka otomatis tidak memiliki kejujuran akademik sekaligus tidak memiliki kejujuran moral.
Tak bisa dipungkiri, pemandangan desa dihiasi oleh praktek korupsi, penipuan, ketidakjujuran. Jika itu indah, siapakah yang dengan senang hati ingin menghapusnya? Mungkin dulu pemandangan desa indah karena alam lingkungan dan adat budaya warganya. Sekarang lain dan mungkin pemandangan di masa depan akan gersang. Manusialah yang menentukan kebahagiaannya. Karena ada yang bahagia melacurkan diri dan ada yang bahagia menyiksa diri. Kedirian di atas kumpulan diri. Semoga kita tak sendiri.
Penulis: Swadi Sual