Beranda Artikel Eksistensi Penghayat Kepercayaan Malesung di Tanah Minahasa

Eksistensi Penghayat Kepercayaan Malesung di Tanah Minahasa

4018
0

PALAKAT.id – Sore itu di bulan April, tepat di tepi sungai Desa Tondei II, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Frits Sual (47) dan beberapa anggota penghayat kepercayaan Malesung, kepercayaan leluhur Minahasa, tengah mempersiapkan berbagai perlengkapan baik itu pusaka maupun sesajian untuk menjalankan ritual Maso Sico’o.

Rencananya pada malam harinya, ritual Maso Sico’o yang merupakan permohonan perlindungan dan berkat kepada Apo Kasuruang Wangko atau Tuhan Maha Esa akan dilaksanakan di Wale Paliusang (rumah tempat berkumpul). Ritual ini sendiri dilakukan setiap bulan tepat di saat bulan purnama berlangsung.

Walaupun berstatus sebagai kepercayaan leluhur di mana kini pemerintah telah menjamin kebebasan untuk menganutnya, tetapi stigma negatif tetap didapatkan oleh para penganut kepercayaan Malesung. Bukan dari orang luar, tapi stigma itu datang dari warga Minahasa sendiri.

Stigma Negatif Para Penghayat Malesung di Tanah Leluhur Minahasa

Tak mudah untuk Frits Sual (47) seorang Walian (pendeta atau imam sekaligus tabib) dalam kepercayaan Malesung, menjalankan kepercayaannya, bahkan ketika pemerintah telah menjamin kebebasan mereka untuk menganut agama lelulur itu.

Stigma negatif yang diberikan oleh warga Minahasa sendiri justru jadi momok untuk para penghayat Malesung yang saat ini mulai menunjukkan eksistensi dan keterbukaan mereka kepada masyarakat luas dalam melakukan ritual maupun peribadatan mereka.

Frits menceritakan ketika mereka mendapatkan penolakan dari pemerintah di salah satu desa untuk membangun Wale Paliusan (rumah tempat berkumpul). Padahal mereka memiliki tanah yang akan dibangun tersebut. Namun, karena adanya stigma yang muncul, akhirnya mereka tak bisa membangun tempat mereka berkumpul. Padahal, menurut Frits mereka adalah sesama warga Minahasa.

“Tak mudah memang menghadapi stigma, apalagi yang diisukan itu adalah hal-hal negatif. Padahal kami menjalankan kepercayaan kami itu adalah hak dan telah dijamin oleh negara,” kata Frits mengenang penolakan itu.

Frits Sual, Walian Penghayat Kepercayaan Malesung.(Foto: Ridwan)

Frits sudah sekitar empat puluh tahun hidupnya dicurahkan untuk menjalankan ajaran-ajaran leluhur. Dan dua puluh tahun diantaranya mengemban tugas sebagai seorang Walian. Dirinya bersama para penghayat kepercayaan Malesung tetap berpegang teguh dengan ajaran (turun temurun).

Frits juga mengungkapkan hingga saat ini, prasangka dan pandangan negatif terhadap mereka masih terus membayangi. Bahkan dalam menjalankan ajaran-ajaran leluhur, para penghayat kepercayaan Malesung ini masih merasa takut, tidak nyaman dan bersembunyi di balik identitas keagamaan lainnya.

Menurut Frits sejak dahulu ketika dirinya sering mengobati warga desa yang ingin meminta pertolongan dan menjalankan ritual tidak ada ketersinggungan sosial. “Malahan nanti akhir-akhir ini pandangan masyarakat berubah dengan hadirnya organisasi Laroma ini,” ungkapnya.

Serangan Itu Nyata

Selasa dan Rabu 21-22 Juni 2022, adalah puncak ketika serangan terhadap penghayat kepercayaan Malesung terjadi. Tak tanggung-tanggung, serangan kekerasan dilakukan di Wale Paliusan atau rumah tempat berkumpul yang ada di Desa Tondei Dua Jaga II, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

Wale Paliusan yang menjadi tempat menjalankan semua kegiatan Malesung, diobrak abrik dan dirusak oleh oknum warga desa yang tidak bertanggung jawab. Para pelaku datang dan langsung membongkar bangunan, justru ketika ada tamu yang datang di tempat itu.

Tindakan anarkisnya itu dimulai sekitar pukul 10 pagi. Sejumlah orang mulai menghancurkan dinding rumah bagian belakang, kemudian samping dan depan. Tidak puas, kemudian menghancurkan pintu dan seluruh isi rumah. Tidak sampai di situ, pelaku juga menebang pohon kelapa dan diarahkan dan menimpa Wale Paliusan, serta membakar bagian belakang bangunan.

Tindakan itu membuat seorang anak berumur 9 tahun berada dalam kondisi tertekan ketika puing-puing dinding rumah berhamburan di atas meja makan. Sementara itu dua orang menyusul datang di tempat itu, mereka langsung melakukan intimidasi dengan berbagai tuduhan sesat, penyembah berhala kepada orang-orang yang berada di tempat itu.

“Bagaimana bisa mereka menghancurkan rumah kami karena mendengar informasi yang salah atau hanya didapat dari cerita desas-desus. Mereka tidak tahu apa kami tapi sudah menuduh kami dengan brutal,” kata Irma Sual, penghayat Malesung yang tinggal di Wale Paliusan.

Wale Paliusan Penghayat Kepercayaan Malesung yang dirusak.(Foto: dokumen Laroma)

Kehadiran Pemerintah akan persoalan ini pun sangat dinantikan. Menurut Iswan Sual, Ketua Laroma, keberadaan Malesung sudah diketahui oleh Pemerintah di tingkat nasional, provinsi, kabupaten maupun pemerintah desa.

“Selama ini kegiatan Laroma sangat inklusif yang sudah menghadirkan berbagai orang dari kalangan kepercayaan agama lain bahkan oleh pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten,” katanya.

“Harusnya kalau memang ada hal yang tidak buat senang, bukan melakukan tindakan main hakim sendiri. Lebih baik mengundang pemerintah desa melakukan mediasi untuk lebih memahami keberadaan mereka.”

Tindakan anarkis yang terjadi ini membuat para penghayat kepercayaan Malesung kian terdesak, terutama untuk anak-anak mereka yang tengah menempuh pendidikan. Sudah tak mendapatkan pelajaran kepercayaan di sekolah, kini mereka juga harus menghadapi stigma buruk yang terjadi.

Setidaknya ada lima orang anak anggota penghayat kepercayaan Malesung yang sedang bersekolah yang secara administrasi belum tertera sebagai penghayat kepercayaan Malesung.

“Jadi mereka masih diperlakukan sebagai penganut agama yang salah satu dari enam agama. Apalagi bagi siswa yang dalam tahap ujian akhir di mana untuk mengganti identitas sangat sulit untuk dilakukan, jadi mereka lebih memilih bertahan dengan identitas tersebut. Mungkin akan dilakukan perubahan saat mereka selesai dengan ujian akhir,” ungkap Iswan.

Tetap Berjuang Melawan Stgima Negatif

Perjuangan para penghayat kepercayaan Malesung ini terus dilakukan oleh Iswan Sual, Ketua organisasi penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung (Laroma) dan anggota organisasi penghayat lainnya. Iswan seringkali menghadiri undangan-undangan, baik itu berupa diskusi, sosialisasi, dialog maupun membangun komunikasi antar umat beragama untuk terus menunjukkan eksistensi penghayat kepercayaan Malesung.

Dalam setiap sosialisasi dan diskusi dengan berbagai kalangan, Iswan Sual terus menjelaskan apa yang menjadi tujuan dan perjuangan Laroma kepada khalayak umum. Iswan Sual mengisahkan sejarah berdirinya organisasi ini.

Iswan Sual, Ketua Organisasi Penghayat Kepercayaan Laroma.(Foto: dokumen palakat.id)

Awal dicetuskannya organisasi ini pada tahun 2015 dan berdiri secara resmi sebagai organisasi di tahun 2016. Dahulu sebelum ada Laroma, para penghayat kepercayaan Malesung melaksanakan ritual peribadatan jauh dari pemukiman, sesekali memang dibuat di rumah, namun sejak tahun 2015 dirinya mengikuti ritual peribadatan tidak pernah dilakukan di rumah atau di daerah pemukiman.

Tapi kemudian ada pemikiran untuk membuat para penghayat ini percaya diri dan tidak merasa takut perlu dibuat sebuah lembaga atau organisasi yang bertujuan untuk mengadvokasi, kemudian memberikan penguatan kapasitas, sehingga mereka sadar tentang hak-hak sipil, hak-hak mereka sebagai warga negara yang terkait dengan keyakinan dan kepercayaan.

“Pada waktu itu, sebelum ada organisasi ini, semua penghayat kepercayaan Malesung menganggap mereka tidak diakui oleh negara, artinya tidak diberikan ruang oleh negara untuk mengekspresikan keyakinan mereka. Padahal sebenarnya di tahun-tahun tersebut sudah ada jaminan secara hukum, misalnya sudah bisa menikah secara keyakinan kepercayaan, sudah bisa melaksanakan ritus-ritus, karena sudah ada aturan-aturan yang mendukung. Apalagi di tahun 2016 tersebut sudah ada keputusan dari mahkamah konstitusi,” jelas Iswan.

Dari berbagai sosialisasi dan diskusi lintas iman, penghayat kepercayaan Malesung mendapatkan dukungan dan sokongan dari instansi yang berkaitan dengan segala aspek yang dibutuhkan untuk terus menjalankan ajaran leluhur para penghayat kepercayaan Malesung.

Sebagaimana yang disampaikan Ketua Majelis Luhur kepercayaan Terhadap tuhan Yang Maha Esa (MLKI), Engkus Ruswana, menegaskan bahwa Laroma adalah organisasi legal dan sudah terinventarisasi di pemerintah pusat cq Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, dan juga sudah terdaftar di Kabupaten Minahasa Selatan.

Engkus Ruswana, Ketua MLKI.(foto: istimewa)

Laroma mewadahi masyarakat yang masih meyakini agama/kepercayaan leluhur Nusantara, khususnya leluhur suku Minahasa yang disebut kepercayaan Malesung. Jadi, menurutnya, tidak benar organisasi ini sebagai pemuja setan.

“Keberadaan Laroma dan eksistensi penghayat kepercayaaan Malesung dijamin Konstitusi dan dilindungi peraturan perundang-undangan yang berlaku”, tegas pejuang penghayat kepercayaan itu.

Bahkan Kejaksaan Agung RI, melalui Direktur B Jaksa Agung Muda Intelejen Kejaksaan Agung RI, Ricardo Sitinjak, S.H,M.H, bersama tim saat melakukan kunjungan kerja sekaligus pelaksanaan sosialisasi tentang penghayat kepercayaan di Indonesia, yang dilaksanakan di Kantor Kejaksaan Negeri Kabupaten Minahasa Selatan telah menegaskan bahwa penghayat kepercayaan Malesung sah dan sudah diakui oleh negara.

Ricardo Sitinjak juga mengintruksikan pemerintah daerah Kabupaten Minahasa Selatan dalam hal ini, Badan Kesbangpol, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, untuk melindungi hak-hak konstitusi penghayat kepercayaan Malesung, karena sudah memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah.

”Untuk dapat bekerjasama atau menggunakan fasilitas pemerintah setempat salah satu persyaratannya sudah terdaftar. Pemerintah setempat diharapkan dapat memfasilitasi kebutuhan kegiatan aliran kepercayaan setelah dipenuhinya seluruh persyaratan sebagai penghayat/penganut kepercayaan Malesung,” tutup jaksa Agung Muda Intelejen Kejaksaan Agung RI.

Tidak sampai di situ, untuk mendukung semua pemenuhan hak konstitusi penghayat kepercayaan Malesung, Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi (Kemendikbudristek) RI, melalui Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, telah melakukan inventarisasi.

“Organisasi kepercayaan berikut dengan ajaran kepercayaannya adalah pelestari budaya spiritual bangsa Indonesia. Penulisan ajaran kepercayaan sebagai salah satu bentuk pemajuan kebudayan (Pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan) terhadap nilai-nilai luhur budaya spiritual bangsa,” terang Suharti, S.Sos, Kepala Kelompok Kerja (Kapokja) Kepercayaan terhadap TYE, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.

Ritual dan Peribadatan Masih Dilarang

Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat) Dr. Denni Pinontoan sangat menyesalkan tindakan Bupati Minahasa Selatan Franky Wongkar yang secara informal meminta para penghayat Malesung yang benaung dalam Laroma untuk tidak menjalankan ritual rutin bulan purnama.

Seperti diketahui, Denni dan menjadi perbincangan di komunitas Mawale Cultural Center, kegiatan sosialisasi hak-hak warga penghayat kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa (TYME) yang dilakukan di kantor Bupati Minahasa Selatan (Minsel) oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap TYME dan masyarakat Adat (Ditkma) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (12/7/2022) berujung pada pemanggilan Ketua Umum Laroma Iswan Sual oleh Bupati Minsel yang meminta Laroma agar tidak menjalankan ritual bulan purnama.

“Sebagai pimpinan, Bupati Franky harus berdiri untuk semua orang. Bupati tidak boleh tunduk kepada pimpinan-pimpinan agama Kristen yang menolak Laroma,” ujar Denni (14/7/2022) yang ikut prihatin karena Laroma tadi malam purnama tidak menjalankan ritual rutin mereka.

Dr. Denni Pinontoan, Ketua Pukkat.(foto: FB Denni Pinontoan)

Karena itu, Denni meminta Bupati Minsel Franky Wongkar patuh pada hukum yang melindungi segenap warganya untuk secara leluasa menjalankan keyakinan sesuai kepercayaannya masing-masing.

Menurut Denni, ada paradoks, ambiguitas, atas langkah politis Bupati Minahasa Selatan yang sangat diskriminatif ini. Pasalnya, banyak organisasi atau komunitas yang di malam purnama Rabu (13/7/2022) mengamalkan tradisi dan ritual Malesung di Watu Pinawetengan secara bebas, tetapi pada waktu yang sama para penghayat dari Lalang Rondor Malesung (Laroma) dilarang melakukan ritual Maso’ Sico’o, tradisi leluhur Minahasa yang sudah eksis diperkirakan antara abad ke-4 dan 7 Masehi.

“Bupati Minsel harusnya melindungi dan memberikan jaminan hak-hak asasi berkepercayaan, termasuk agama lokal Minahasa dalam hal ini Laroma dan agama-agama lainnya,” tegas Denni yang aktif di Mawale Cultural Center.

Hal lain yang penting harus dilakukan negara saat ini, Denni meneruskan, bahwa aparat segera memroses para pelaku perusakan Wale Paliusan, tempat Laroma rutin mengamalkan ritual Maso’ Sico’o.

“Apapun alasannya pelaku harus diproses secara hukum. Ada mekanismenya. Untuk membuktikan keseriusan pemerintah dalam menangani tindak kriminal bernuansa agama yang menimpa penganut Malesung, Laroma,” kata Denni.

Baginya, pembiaran aparat penegak hukum terhadap pelaku yang sejak 21 dan 22 Juni lalu melakukan penghancuran Wale Paliusan di Tondei Dua adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pembiaran polisi dan aparat hukum lainnya terhadap penghancuran tersebut di atas sama artinya negara melakukan kejahatan HAM (crime by omission).

Justru, kata Denni, korban jangan diperlakukan seperti pelaku, sehingga aparat kepolisian seolah memberikan pembenaran kekerasan. Bukan kriminalisasi terhadap korban karena tuduhan tak berdasar memicu konflik.

“Jangan diputarbalikkan. Laroma adalah korban. Harus dilindungi, dijamin hak-haknya dan mendapatkan keadilan hukum,” kritik Denni terhadap aparat yang bergerak lambat.

Iswan Sual bingung karena para anggota Laroma bertanya kepadanya mengapa tidak dapat lagi menjalankan ritual rutin bulan purnama besar dan sampai kapan.

“Benar, kami nanti malam bulan purnama diminta untuk tidak menjalankan ritual Maso’ Sico’o,” ujar Iswan lirih (13/7/2022).

Terkait penentangan beberapa tokoh agama terhadap Laroma, Denni sangat berharap masyarakat harus menerima pemeluk yang bukan Kristen di Minahasa, tidak hanya menghormati Islam, Budha, Hindu, Yahudi, dan Konghucu. Masyarakat Minahasa Selatan, papar Denni, harus memperoleh edukasi dan literasi multikultural, karena Minahasa terdiri dari banyak agama atau kepercayaan dan etnis.

“Masyarakat tidak bisa melakukan resistensi terhadap Laroma. Secara kultural, Minahasa sangat beragam. Hormatilah keberagman ini,” pungkas Denni.

Demikian halnya juga ketika diskusi bahkan perdebatan panjang yang terjadi antara pemateri dan para peserta yang hadir dikarenakan banyak di antara mereka kemudian belum mengetahui tentang adanya penganut kepercayaan.

Puncaknya, ketika materi sosialisasi organisasi Penghayat Kepercayaan Lalang Rondor Malesung (Laroma) akan dibawakan, beberapa peserta memberikan protesnya dan tidak memberikan kesempatan kepada Ketua Laroma untuk berbicara memberikan beberapa klarifikasi terkait isu-isu hoax yang berkembang di masyarakat terhadap Laroma.

Sjamsul Hadi, SH, MM, Direktrur Ditkma menuturkan, kejadian seperti ini sudah biasa mereka temui di beberapa tempat di daerah lain dan maksud dari kegiatan ini bukan untuk merangkul peserta untuk bergabung dengan mereka.

“Penolakan seperti ini sudah biasa terjadi. Tujuannya bukan kami mengajak untuk mengikuti dalam arti ke kepercayaan, tentu tidak. Kami meminta ketua Laroma untuk hadir supaya menjelaskan bahwa kepercayaan bukan sesat,” ucapnya.

Dia juga menegaskan, Penghayat Kepercayaan Laroma telah memiliki tanda inventarisasi dari kementerian, tetapi sebelumnya sudah ada penelitian dan waktu yang panjang sampai akhirnya mendapatkan legalitas dari Kemendikbudristek.

“Laroma sudah mendapatkan tanda inventarisasi di kementerian. Jadi sebelum itu mendapatkan tanda inventaris itu, kami sudah teliti dengan benar ajaran yang mereka anut. Untuk kedepan, kami akan melakukan pembinaan langsung ke Laroma. Sebagai masyarakat, kesetaraan agama dan kepercayaan sudah menjadi bagian keputusan pemerintah memberikan ruang kesetaraan tersebut. Di tempat lain juga mengalami hal seperti ini tetapi boleh diterima di masyarakat,” tegas Sjamsul.

Penulis: Ridwan Nurhamidin


Liputan ini merupakan bagian dari Program Workshop dan Story Grant Pers Mainstream yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan The Netherlands Embassy.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini