Minahasa, PALAKAT.id – Tetap konsisten dalam menjalankan eksistensi organisasi Penghayat Lalang Rondor Malesung (Laroma), kali ini, Komunitas Tou Weru bekerja sama dengan Gusdurian Minahasa dan Odo Eatery Café menggelar Screening Film Laroma perjuangan mencari keadilan, Sabtu, (26/8/2023).
Acara yang berlokasi di wilayah Rerewokan itu mengusung tema Agama Malesung: Sejarah, Eksistensi, dan Diskriminasi. Sejak sore hari, para peserta mulai berkumpul tak kala para pemantik pun terlihat mulai berdatangan.
Kegiatan ini bertujuan untuk sosialisasi tentang eksistensi agama atau kepercayaan leluhur Minahasa, khususnya penganut kepercayaan Laroma melalui pemutaran film documenter yang dilanjutkan dengan dialog bersama para peserta yang hadir.
Acara ini diawali dengan pembacaan puisi dari salah satu peserta yang hadir yang kemudian diikuti oleh pemutaran film yang berdurasi satu jam lebih.
Semakin meriah kemudian, sajian aksi teatrikal dan pembacaan puisi dipentaskan oleh organisasi mahasiswa Teater Ungu yang berpusat di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Manado (Unima) dan Ekskul Smart Teater.
Diskusi ini semakin alot tatkala para peserta antusias memberikan pandangan-pandangannya terkait penghayat kepercayaan yang sampai hari ini eksis di tanah Malesung.
Iswan Sual sebagai ketua Laroma, dalam pemaparannya menjelaskan dinamika yang terjadi tak kala mendirikan organisasi Laroma yang berpusat di desa Tondei, kecamatan Motoling Barat.
Dia menuturkan, penting untuk menghimpun para penghayat dalam satu wadah, melestarikan ajaran yang berlandaskan perdamaian, mengupayakan terwujudnya manusia yang hidup tenteram, bahagia dan sejahtera lahir dan batin, membentuk manusia yang mandiri, beradab, berbudi pekerti luhur, berwawasan budaya dan mencintai ilmu pengetahuan.
Subronto Aji sebagai pemantik, turut menyebutkan diskusi-diskusi seperti ini penting dilaksanakan supaya semakin banyak warga masyarakat yang tahu soal penghayat malesung yang hari ini telah diakui oleh negara dan sudah selayaknya hidup rukun dan damai tetap terwujud dalam bingkai kebhinekaan.
Pemaparan kemudian dilanjutkan oleh pengacara Satriano Pangkey, dia menjelaskan Sulut dikenal dengan daerah toleran tetapi kemudian beberapa tahun terakhir, marak terjadi persekusi.
“Dalam catatan kami, beberapa tahun terakhir marak terjadi masalah-masalah yang berkaitan dengan intoleransi. Dan di Sulut, yang paling berat adalah persekusi di Laroma. Ini menandakan sebagai paradox dari daerah toleran,” papar Pangkey.(nli)